zondag 19 november 2006

Beijing



Beijing, ibukota Cina, luas hampir 17 ribu km persegi dengan penduduk total 15 juta. Jakarta, ibukota Indonesia, yang Nito anggap gede aja ternyata cuma 662 km persegi dengan penduduk sembilan jutaan. Perbandingan lainnya adalah ibukota Belanda, Amsterdam, yang luasnya cuma 167 km persegi. Jadi bisa kebayang segede apa ibukota Beijing.

Beijing merupakan gerbang pertama perjalanan Nita Nito. Penerbangan dari Amsterdam memakan waktu kurang lebih sembilan jam. Seperti yang udah dibilang kemarin, Nita pusing dan mual berat. Mungkin karena kondisinya yang sedang "spesial". Antrian panjang mewarnai pemeriksaan imigrasi. Nggak heran Cina merupakan tujuan terbanyak keempat di dunia. Padahal November merupakan musim wisata rendah. Artinya, seharusnya, tidak banyak wisatawan di Cina. Petugas imigrasi menjalankan tugasnya secara ketat tapi tidak reseh. Jadi inget petugas imigrasi di Indonesia yang sering cengengesan dan reseh(paling tidak yang Nito alamin).




Kalau diperhatikan pusat kota Beijing, dan kemudian mewarnai wilayah lain, berbentuk kotak. Ini tidak lepas dari pengaruh tradisional Cina, yang memperhatikan empat penjura mata angin. Jadilah bentuk centrum Beijing itu kotak. Beda dengan kota-kota di Eropa.

Sebagai pusat Beijing adalah Forbidden City, kota terlarang, yang dulunya dihuni kaisar. Nito udah nggak inget lagi namanya. Lagipula ini bukan blog sejarah Cina. Jadi lupa nama kaisar tak penting. Kemudian di selatannya terletak alun-alun Tianamen. Populer karena peristiwa demo gede-gedean pemuda-pemudi tahun 1989.



Karena Beijing gedenya minta ampun, maka transportasi yang paling bagus buat turis kayak kami berdua adalah naik taksi. Pertama karena murah dan dapat dipercaya. Tarif taksi beragam antara satu sampai dua Yuan. Tergantung bagus tidaknya mobil. Kalau mobilnya keren, keluaran tahun-tahun belakangan maka per km dikenakan 2 RMB Yuan. Kalau udah tua dikenakan 1,20 RMB Yuan. Kalo lumayanan tahunnya, dan nggak jelek amat maka per km 1,60 RMB Yuan. Dapat dipercaya karena, katanya, mereka nggak bakal sengaja muter-muterin turis supaya argonya jadi mahal. (Duh jadi inget supir taksi di Amsterdam dan Jakarta yang kalau nggak tahu jalan bakalan sengaja diputer-puter supaya bayarnya jadi mahal). Jangan lupa Cina adalah negara komunis. Rakyatnya diatur secara ketat termasuk sopir taksi. Jadi kalo ada sopir taksi ketahuan nakal, tuh orang bakal dihukum berat. Namun patut diingat bahwa mereka 99,99% tak berbahasa Inggris. Jadi kita kudu nulis alamat yang dituju dengan bahasa Cina, supaya mereka ngerti. Untuk urusan nulis tinggal minta tolong sama petugas hotel atau tour guide.

Uniknya semua taksi di Cina pake pembatas antara sopir dan penumpang. Nggak jelas ini maksudnya apa. Tapi dari fungsinya kelihatan untuk menjaga sopir taksi dari ancaman penumpang. Hehehe. Rupanya di Cina sopir taksi lebih takut kepada penumpangnya ketimbang sebaliknya.



Satu lagi catatan Nita Nito. Bahwa di Cina melulu sangat murah adalah mitos belaka. Kami makan malam pertama menghabiskan 210 RMB Yuan. Besoknya malah lebih mahal lagi 270 RMB Yuan. Yeah, Nito tahu itu cuma sekitar 20 sampai 30 Euro. Masalahnya mitos yang digembar-gemborkan adalah dengan 2 Euro kita udah dapat makanan lengkap. Itu yang nggak bener. Demikian juga urusan belanja, nggak bener harga barang di Cina sangat murah. Harganya tidak terlalu murah dan, memang, juga tidak terlalu mahal.

Memang ada makanan murah. Kami menemukan makan kenyang dengan harga 50 sampai 150 RMB Yuan, atau sekitar 5 sampai 15 Euro. Tapi untuk menemukan restoran macam ini kita harus go local. Artinya siap-siap terjun bebas dalam kebiasaan Cina. Termasuk kebiasaan ngeludah reak dengan suara yang super keras itu. Barang-barang murah juga ada. Tapi biasanya tidak bermerek dan hanya ada di pasar-pasar biasa.

Satu lagi yang penting adalah MEREKA CUMA BISA BAHASA MANDARIN, jadi komunikasi paling efektif adalah dengan bahasa tarzan. Kami kadang-kadang menggunakan buku kamus bahasa Cina kecil untuk menerangkan apa mau kami.



Yang di atas ini kami berfoto di Pasar Baru-nya atau Kalverstraat-nya Beijing: Wangfujing atau Wangfujiang.