dinsdag 7 oktober 2008

Halte Pelangi Utara

Dania, papi kadang-kadang suka gigit bibir. Tapi biasanya kalau nggak ada yang ngeliat. Kenapa? kalau ada sesuatu yang luar biasa serius papi pikirkan.

Seperti saat papi naik bis dari stasiun Almere Luar ke rumah. Sehabis membeli roti untuk kamu, papi memilih naik kendaraan umum yang satu ini. Setiap 10 menit berhenti satu bis.

Bis penuh. Seorang lelaki berjaket kulit dengan tato dileher buru-buru naik. Kakinya menahan pintu bis menutup. Di belakangnya ada perempuan dengan sebuah kinderwagen kereta berisi bayi. Di dalam pasangan itu -entah menikan atau tidak, bukan urusan gue- ngobrol keras-keras. Seolah-olah bis mobil pribadi mereka.

Papi menawarkan supaya mereka masuk lebih dalam. Si lelaki, klimis dengan bau keringat, memandang sebentar dan tersenyum. "Kami turun di halte terdekat."

Halte Pelangi Utara. Seperti namanya, perhentian ini terletak di RW yang penduduknya warna-warni. Belum membaca survey, tapi papi merasa, sangat jarang melihat orang kulit putih di sana. Lebih dari separuh penumpang bis turun di sini.

Papi menimbang-nimbang. Rumah kita, bisa ditempuh dari sini. Tapi papi lebih suka turun di Halte Kepulauan Utara. Kok rasanya lebih sreg.

Halte Pelangi Utara, kalau bisa menjerit, bakal sering menjerit. Hampir sebulan sekali sang halte dirusak. Gerombolan anak muda berbau ganja nongkrong. Walau tak mengganggu, kegiatan mereka bisa buat ciut nyali. Cerita-cerita penusukan dan baku hantam ala tawuran Indonesia, jadi buah bibir tentang persinggahan ini.

Tapi papi ingin turun di sini. Ada rasa sedih. Pelangi Utara seolah-olah membenarkan stereotip: warna warni=pendatang=vandalisme. Papi latah mengamini label tersebut. Sedih karena kulit papi coklat, juga kamu Dania. Sedih karena papi kan pendatang. Berarti termasuk streotip itu?

Papi menegakkan kepala. Melangkahkan kaki keluar dari bis bersama-sama warga warna-warni lainnya. Putih bukan warna, kata Malcom X.

Lagipula vandalisme=penjahat=siapa saja.