zondag 28 september 2008

Freedom Writers

Film Freedom Writers dirilis awal 2007. Jadi kalau dibahas sekarang jelas udah telat satu setengah tahun. Tapi tulisan ini bukan resensi, melainkan cerita doang.

Oke.

Sedikit latar belakang, film Freedom Writers dicuplik dari buku bertitel sama, dengan kisah kurang lebih sama. Remaja ghetto di sebuah sekolah, yang kehilangan semangat merintis masa depan akibat kemiskinan, perang antar geng dan diskriminasi. Sejatinya mereka hampir-hampir tak punya kesempatan. Tetapi, thanks to Erin Gruwell, sang guru kelas, remaja-remaja pendatang di AS tersebut jadi punya masa depan.

Terus terang kisah ini berdentang kuat di hati. Papi teringat tahun 1992, kala harus keluar dari sebuah sekolah negeri di bilangan Salemba Raya. Sekolah, katanya, populer itu, memberhentikan papi, karena terlibat tawuran. Memang, Dania jangan tiru yang satu ini ya, kami waktu itu menyerbu sekolah di Pulomas. Hasilnya cukup mengerikan. Seperlima bangunan institusi pendidikan swasta itu hancur, sekitar puluhan pelajarnya bonyok en ini yang paling nggak enak, beberapa teman papi melakukan pelecehan sexual. Sekolah tersebut sampai diliburkan beberapa hari.

So setelah itu kami diburu-buru polisi, beberapa hari kemudian ditangkap dan digelandang dengan mobil kijang polsek.

Singkat cerita, papi di-DO. Dan setelah bujuk sana-sini, dapet sekolah negeri di Bintaro. Papi masuk lingkungan baru.

Hari pertama seperti neraka.

Sekalipun papi nakal, tapi kenakalan teman-teman baru ini jauh luar biasa. Mirip-mirip kenakalan remaja ghetto AS di kelas. Guru diacuhkan, kelas tak terkontrol, merokok saat pelajaran berlangsung, -bahkan ngeganja-. Pemukulan guru sudah jadi cerita biasa. Terus terang papi depresi menghadapi itu semua.

Satu pekan setelah masuk, papi dikeroyok sekitar empat orang. Puji Tuhan, papi masih idup. Padahal seorang dari pengeroyok memakai batu untuk menggampar kepala.

Tapi pergumulan justru membawa papi bertemu Tuhan. Yang ini akan diceritakan lain kesempatan, ya Dania.

Kembali ke kelas. Setelah akhirnya bisa beradaptasi, papi sering mendengar cerita dari mereka bahwa mereka sebenarnya telah kehilangan motivasi sekolah. "Andaipun lulus, paling-paling, cuma jadi satpam atau penjaga toko." Mengapa mereka kehilangan semangat. Seperti buku Erin Gruwell, jawabannya kemiskinan.

Setelah kurang lebih lima tahun berlalu, papi mendengar beberapa teman di sekolah Bintaro itu ada yang tewas di-dor polisi, karena terlibat kejahatan berat.

Kemiskinan sebenarnya sebuah musuh berat, yang entah kenapa, anggaran untuk memeranginya kalah jauh dengan dana untuk pertahanan keamanan sebuah negara. Tidak hanya di Indonesia, di negara maju juga begitu.

Entah kenapa juga kita masih sering pakai istilah "memberi pancing, jangan ikan". Kenapa kita sering berlindung di balik kalimat -seolah-olah- bijak itu. Kenyataannya teman-teman papi dulu itu sudah dapet pancing dan kail, tapi mereka gagal mendapat ikan. Memberi ikan supaya mereka punya modal untuk membeli pancing dan kail, sehingga mereka bisa menangkap ikan lagi. Dan seterusnya. Oke papi tahu ini bukan rumus matematika. Tentu banyak faktor penentu di sana.

Tapi ingatkan kisah di Alkitab, ketika massa yang dengerin khotbah Yesus kelaparan dan membutuhkan makanan. Bukankan Isa Almasih itu langsung membuat keajaiban dengan "menyulap" lima roti dua ikan jadi berbakul-bakul makanan.

Bagaimana kalau Yesus saat itu sok-sok an bijak dengan berkata, "hmmmhh kita harus memberi pancing, bukan ikan." Jadinya massa yang tengah kehausan dan lapar dapet kompor tanpa bahan makanan. Bisa bayangkan?

Untunglah Yesus tak lakukan itu. Yang Dia lakukan bertanya adakah orang yang bawa bekal? ya! itulah lima roti dan dua ikan. Lalu Isa Almasih memberkati dan whoila! jadi deh berbakul-bakul makanan.

Dibutuhkan orang yang bersedia memberi sedikit ikan, dan bukan sekedar pancing, untuk bisa mendapatkan berton-ton hasil.

Ini yang dilakukan Erin Gruwell dalam kisahnya Freedom Writers. Ketimbang memberi pancing, ia langsung memberi ikan. Perempuan ini langsung merogoh kocek sendiri agar anak didiknya bisa menikmati fasilitas yang biasa cuma didapat anak orang kaya. Ia tanpa segan memberi diri, sampai harus kerja sambilan sebagai pelayan, supaya terkumpul uang agar anak-anak ghetto itu sadar bahwa mereka punya kesempatan.

Kini Freedom Writers telah menjadi sebuah yayasan dengan tujuan memberi harapan bagi anak-anak yang merasa sudah tak punya harapan. Kerja kerasnya telah membawa remaja tanpa masa depan menjadi seorang dewasa yang memiliki masa depan.